Malam belum larut benar ketika sosok perempuan itu datang dan langsung duduk di kursi yang ada di depan saya. Senyumnya mengembang, erat jabatannya masih terasa hangat. Parasnya masih cantik, sama seperti dulu. Padahal hampir lima tahun kami tak pernah bertatap muka seperti ini.

Dipesannya sebotol kecil bir dan french fries keju kesukaannya. Tak ada lima menit, bibir mungilnya langsung nerocos tak henti berkata. Saya hanya cengengesan karena susah menghentikan dia bicara.

Blue, kau tak pernah ngisi blogmu lagi,” tiba-tiba dia bertanya. Ini pertanyaan yang entah kenapa membuat saya gelisah. Pertanyaan yang sebenarnya saya hindari.

Saya sulut sebatang rokok. Lalu menenggak bir. Lama saya diam.

“Kenapa? Kehabisan energy? Alesanmu dari dulu cuma itu!”

Saya cengengesan. Malam itu yang bisa saya lakukan memang hanya cengengesan.

“Kau tau Blue, dulu aku kenal kamu dari baca-baca tulisan di blog. Lalu kopdar, lalu kita bisa saling bercerita seperti ini. Itu sangat menyenangkan,” ujarnya. “Apa sibuk ngurus anak istri?”

Saya menggeleng. Mengurus anak istri bagi saya bukan sebuah kesibukan, melainkan kewajiban. Jadi tak ada alasan lagi bagi saya untuk menelantarkan blog ini sebenarnya. Lalu apa?

Malam itu, saya memilih untuk tidak memberi penjelasan secara detail atas pertanyaan kawan saya itu. Saya cuman jawab singkat. “Mbuh lah mbak, aku juga heran. Kok males byanget ya ngisi blog,”

Jawaban yang sontak membuat kentang goreng keju di depan saya melayang mengenai badan. Saya hanya terkekeh sambil berupaya lebih peduli ngisi blog ini.

Padahal, sungguh banyak hal yang seharusnya bisa dibagi. Saya orang yang percaya bahwa pengalaman setiap orang itu selalu berbeda. Bahkan ketika dua orang berboncengan motor atau berjalan beriringan sekalipun, pengalaman yang didapat keduanya tak akan pernah sama. Tergantung dari apa yang mereka lihat.

Udah ah…

Ada getar luar biasa saat saya mulai menulis kalimat demi kalimat saat ini. Campur aduk rasanya. Antara malu sekaligus gembira yang teramat sangat. Bayangkan saja, terakhir kali saya menulis di blog ini, 25 oktober 2011. Sekarang sudah 2014. Waktu yang teramat lama bagi saya yang doyan bosan ini, menyia-nyiakan medium paling asik untuk corat-coret .

Padahal, asal anda tau, di blog ini banyak kisah yang terjadi. Apa yang saya kisahnya, setidaknya member warna dalam hidup saya. Mulai dari hal remeh temeh, soal percintaan, imajinasi hingga kisah Samirun yang nggapleki tenan itu. Bahkan saya sempat melamar pacar saya juga lewat blog ini. Duh… penuh sejarah padahal.

Tapi ada kabar baik, pembaca. Keinginan untuk kembali membangkitkan blog ini tiba-tiba meletup-letup. Ada gairah yang menyala. Tapi disatu sisi ada kekhawatiran kalau semangat itu kembali memudar. Jadi untuk saat ini, biarlah mengalir apa adanya.

Tunggu saja…

Sudah lama kiranya, saya tidak menulis atau minimal mengisi blog ini. Seperti posting terakhir, energy untuk menulis itu meredup. Menulis membutuhkan “energy”. Tapi kabar baiknya, rindu itu kini menyala lagi. Semangat untuk kembali mengisi lembaran-lembaran postingan kembali saya dapatkan meski kobarnya masih tak seberapa.

Baiklah. untuk kali ini, saya mau membawa anda untuk menikmati sebuah pertunjukkan teater yang dimainkan Stage Corner Community. Judulnya keren, “Techno Ken Dedes”. Saat pertama kali saya mendengar judulnya, saya terhenyak. pasti ada sesuatu yang baru dalam pertunjukkan Techno Ken Dedes. Dan benar saja, kali ini, Ken Dedes memperlihatkan wajahnya yang lain. Ia lahir dalam tiga generasi yang berbeda kultur. Pentas Techno Ken Dedes memperlihatkan sisi-sisi persoalan wanita. Mulai dari feminism hingga harga diri perempuan.

Pentas Teatrikal Techno Ken Dedes yang dimainkan Stage Corner Community di Gedung Kesenian Jakarta 18-19 Oktober lalu, barangkali sengaja dihadirkan untuk memperlihatkan bagaimana benturan-benturan antara masa lalu dan masa kini. Perjalanan waktu yang terus bergulir dengan rentetan perubahan-perubahan telah mempertemukan Ken Dedes masa kini (techno) dengan Ken Dedes masa lalu (purba). Benturan sosial, feminisme dan harga diri menjadi persoalan yang campur aduk.

Pentas dibuka dengan suara music etnik berbaur dengan instrument techno. Lalu satu persatu para dedes muncul bergantian. Diawali Dedes Rahim. Ia muncul dari balik batu. Berjalan sembari menari diatas cobek yang disusun. Dialah Dedes Rahim. Dedes yang melahirkan para dedes. Dia lah rahim purba techno. Tempat segala terlahir dan tertimbun. Takdir telah menggariskan jejak bagi sang rahim, jejak kaki Ken Dedes. Dialah silsilah yang tak punah hingga telanjangnya zaman

Lalu, muncul Ken Dedes Techno (YG Threnov) dari dalam bathtub. Melepaskan jubah hitam yang membalutnya. Dari tubuhnya tampak gambar menyerupai mesin. Lalu dia melangkah perlahan keluar dari bathtub. Sementara, berdiri diatas batu, Ken Dedes Purba (Sintya Syakaraw) diam menatapnya. Wajahnya menunjukan raut penuh kekhawatiran. Sambil terus menari, Ken Dedes Techno buka suara.

“Aku ingin senggama lagi. Agar aku dapat lebih mengenal jejakku. Aku ingin senggama. Akan aku lahirkan tubuh-tubuh sepertiku, Aku ingin telanjang,”
“Jaga lidahmu” tutur Dedes Purba. Matanya mendelik.
“Wahai Dedes, Wahai peradaban, menarilah bersamaku,”
“Kau hilang akal. Tubuh barumu harus diruwat, Dedes,” hardik, Dedes Purba kesal

Dalam pentas ini, para dedes, tampil dengan karakter masing-masing. Dedes Purba mewakili peradaban masa lalu tempat ia terbelenggu dengan aturan dan tata karma Dari tampilan saja tabrakan itu sudah terlihat. Ken Dedes Purba menggambarkan sosok perempuan masa lalu dengan balutan kain kemban. Sementara Dedes Techno lebih memperlihatkan gambaran kekinian. Dialah lakon dari peradaban masa kini yang feminim, yang serba bebas, serba hedon. Tempat dimana tak ada lagi aturan-aturan yang membatasi pergaulan seorang perempuan di jaman yang serba terbuka dan modern. Dia menampilkan jejaknya sendiri mengikuti zaman. Narasinya penuh dengan kekecewaan.

“Akulah Dedes yang terlahir kembali. Dedes yang tersenyum. Darah keperawananku membawaku pada singgasana paramesywari,” tegas Dedes Techno

Sedangkan kemunculan Dedes Rahim, lebih kepada sebagai penengah. Penengah diantara benturan-benturan yang dimunuculkan antara masa lalu dan masa kini. Antara Dedes Purba dan Dedes Techno.

“Aku Rahimmu. Rahim yang kau lupakan. Putarlah wajah pada cahaya bulan, biarkan ingatanmu memimpinmu. Kau tubuh Purba cahaya. Lempeng baja juga mesin-mesin,menempatkan diriku hanya pada sebuah kenangan. Kenangan yang berubah ilusi. Ilusi masa lalu dan masa depan,” ujar Dedes Rahim, suatu ketika.

Cerita “Techno Ken Dedes” yang terpilih sebagai peraih Hibah Seni Kelola 2011 itu memang lebih banyak menyoal tentang feminisme. Benturan-benturan dilakukan, lalu ditengahi dengan kemunculan Dedes Rahim. Dalam bahasa sang sutradara, Dadang Badoet, itulah kunci untuk “pulang kembali” sesuai khitahnya.

Lewat pementasan ini, Dadang memang berusaha mengeksporasi dan mereinterpretasi tokoh perempuan dengan kehormatan dan harga dirinya yang tinggi dengan perwatakan karakter yang kuat. Semuanya itu disampaikannya lewat kemunculan narasi yang kental metaforanya.

Dadang Badoet juga sengaja memunculkan sosok Ken Dedes karena dianggap cukup mewakili persoalan yang ingin diangkat karena kisah kehidupannya yang intrik. Munculnya tiga Dedes dalam karakter yang berbeda, menjadikan pementasan ini lebih kaya akan persoalan.

Tak lupa, pentas ini juga sengaja menghadirkan Ken Arok. Namun, Arok dalam pementasan ini, tak lebih hanya tempelan belaka. Arok dihadirkan sebagai rangsangan cerita, yang kadang, justru melemahkan narasi yang sudah terbangun kuat. Atau barangkali ia muncul hanya sebagai tempelan agar penonton tak terlalu serius. Toh banyak banyolan sejak munculnya Arok.

Stage Corner Community dalam produksinya yang kelima juga sengaja mengkolaborasikan susunan properti panggung yang mendukung perwatakan karakter. Property cobek dari batu di atas panggung yang menjadi tempat berpijak Ken Dedes Purba. Oleh Dadang dilambangkan sebagai jejak-jejak purba yang masih ada. Sedangkan bathtub disimbolkan sebagai sesuatu yang bersih dan rapi dari peradaban kini. Karena itulah Ken Dedes Techno muncul dari bathtub. Secara garis besar, pentas ini sangat menarik dengan narasi dan isu yang kuat. (*)

“Menulis itu, Blue,” kata abang saya “Membutuhkan energy yang tidak sedikit. Jadi kau simpanlah energy itu untuk menulis. Jangan kau pakai untuk nonton dan nongkrong aja,” tegasnya. Saya hanya cengegesan, kala abang saya memberi saya nasehat itu.

Abang saya itu memang jago menulis. Saya adalah orang yang merasakan dan mendapat anugerah menyerap ilmu-ilmunya, meski saya sadar, saya tak jago-jago amat dalam dunia tulis menulis.

Kata-kata abang saya itu, kadang menyadarkan saya, bahwa saya mulai melupakan yang namanya menulis. Tentu, menulis disini bukan dalam soal pekerjaan.  Menulis yang abang saya maksud itu adalah membuat buku, atau menulis novel. Kenapa saya mulai lupa menulis? karena saya tak memiliki energi yang berlebih untuk membuat tulisan.

Barangkali, energy ini memang perlu dibangkitkan. bagaimana caranya, mungkin dengan semangat, dengan jatuh cinta atau  justru kadang ketika harus terjerumus dalam kondisi kepepet. Kepepet? Iya. Kepepet.

Kawan saya pernah cerita, bahwa factor kepepet ini bisa jadi energy yang dahsyatnya berkali-kali lipat dari pada sekedar punya semangat dan kobaran ide. Dia mencontohkan, ketika orang lagi dekat dengan lawan jenis misalnya. Ia akan dengan mudah menulis roman-roman percintaan dibanding orang yang jarang bersentuhan dengan cinta. Atau saat tak punya duit, bisa saja timbul ide-ide untuk membuat cerpen untuk dikirim ke surat kabar dan majalah. Tentu, meski kalau dimuat cairnya akan memakan waktu lama, tapi lumayan bisa menyambung periuk nasi.

Mungkin, semangat ini pulalah yang menjadi alasan, kenapa saya mulai jarang mengisi blog saya ini. Entah kenapa, kok ya saya ini mulai males untuk menulis. Barangkali, karena saya sudah jarang jatuh cinta. Sehingga, tak ada lagi kisah cinta yang perlu saya tulis. Dan kalau memang saya mulai menulis cerpen, toh cerpen-cerpen itu juga larinya saya kirim ke Majalah remaja dan tidak saya publikasikan disini, karena saya butuh duit. Hehehe…

Sebenarnya ini memang bukan alasan yang cukup logis, hingga kemudian blog saya ini mulai tak terisi. Tapi setidaknya, alasan saya ini bisa dimengerti, bahwa pada dasarnya memang enegri saya untuk menulis di blog sudah dihabiskan untuk pekerjaan di kantor dan menulis cerpen di majalah. Jadi maafkan saya, saya sedikit abai mengurus blog ini. Semoga, semangat saya untuk menulis di blog kembali kambuh..

.

Selamat Tahun Baru, Kawan….

Suka Balet? Atau setidaknya anda pernah menonton pertunjukkan balet di panggung kesenian besar? Jika tidak suka atau belum pernah sekalipun menonton, sebaiknya anda segera menonton. Apalagi, jika koreografinya dari Farida Oetoyo.

Farida Oetoyo ini, kalau orang seni bilang, dia lah salah satu maestro balet Indonesia. Dia dengan ide-idenya, telah mencipta puluhan bahkan ratusan koreografi balet yang penuh dengan keindahan, kelincahan dan kelenturan tubuh pemainnya. Balet ditangan Farida Oetoyo menjadi sebuah karya seni yang sungguh indah untuk dinikmati. Tentu, tanpa perlu anda memahami tetek bengek istilah dalah dunia balet.

Seperti dalam pembukaan festival Schouwburg IX di Gedung Kesenian Jakarta, beberapa pekan lalu. Dua karya Farida, Survival dan Serdtse di pentaskan ulang, yang tentunya tetap mengundang decak kagum penonton.

Saya berkesempatan untuk menontonnya. Malam itu, panggung Gedung Kesenian Jakarta dihiasai cahaya warna merah menyala. Ditengahnya, penari dengan topeng warna putih bergulat bersama kain warna merah menyala yang membelit tubuh mereka. Pelan mereka bergerak seiring dengan music yang banyak diwarnai detail piano, bass dan gesekan biola.

Pelan, mereka mencoba lepas dari lilitan kain tersebut. Alih-alih lpeas, mereka justru terjebak. Masuk menyelip dalam belitan kain panjang warna merah menyala. Bergerak, menyumbat lalu diam tak bergerak. Tak berapa lama, para penari ini terlepas, muncul dengan wajah barunya. Kali ini tanpa mengenakan topeng.

“Ini adalah sebuah pertunjukkan yang memang inspirasinya dari dalam diri saya sendiri. Ini merupakan pengalaman yang saya lakoni,” kata Farida Oetoyo

Inspirasi yang dimaksud Farida Oetoyo adalah pertunjukkan Serdtse atau The Heart yang malam tersebut disajikan dengan diringi kemasan music live oleh anaknya Aksan Sjuman. Serdtse atau The Heart, merupakan jenis tari Ballet dengan unsure kontemporer yang sangat kental. Farida yang lebih banyak menganut aliran ballet klasik, menyelipkan jenis tarian kontemporer yang indah dan sangat artistic di karyanya kali ini.

“Tidak semuanya kontemporer. Karena unsur balletnya juga sangat kental. Karena memang akar saya di ballet, jadi saya tidak bisa meninggalkan ballet dalam semua karya-karya saya ini,” tegas Farida Oetoyo.

Serdtse sendiri menceritakan tentang seorang danseur atau ballerino (sebutan untuk penari balet laki-laki) yang menjalani hari-harinya. Ada denyut kehidupan, ketenangan, aneka persoalan hingga sebuah kematian. Dialah sosok yang terbelit kain merah, hingga di akhir episodenya harus mati.

Dalam koreografi kali ini, Farida mengibaratkan kain warna merah tersebut adalah pembuluh darah yang mengalir ke dalam jantung. Dan dalam perjalanan hidupnya, ayah Farida Oetoyo, R Oetoyo Ramelan meninggal karena penyakit jantung yang diderita.

“Gadis yang berjalan keluar di tengah-tengah laki-laki yang terkapar di tengah tad, adalah gambaran bahwa inilah masa depan ballet. Ada generasi balet baru yang lahir,” tandas Farida.

Serdtse sendiri merupakan karya terbaik yang pernah dipentaskan oleh Farida Oetoyo. Sebelumnya, Serdtse pernah juga dipentaskan pada September 2006 di GEdung Kesenian Jakarta. Untuk pentas kedua ini, Farida Oetoyo menambah beberapa detail koreografi dan tekanan pada music, hingga tersaji pertunjukkan yang lebih hidup, penuh gairah dan lebih manusiawi.

Dalam festival Schouwburg IX—schouwburg adalah nama gedung kesenian Jakarta pada masa lalu—kali ini Serdtse merupakan tari pembuka kedua dalam festival kali ini. Di tempat dan hari yang sama, Farida Oetoyo menampilkan terlebih dahulu tari ballet klasik Survival.

Dalam tari Survival ini, Farida Oetoyo yang memang memiliki akar ballet klasik, menyelipkan sedikit sentuhan neo klasik di dalamnya. Gerakan-gerakan indah ballet klasik disajikan tanpa cerita, hanya komponen koreo tari ballet yang indah, gembira lewat Survival.

“Dalam karya Survival ini memang tidak ada jalan cerita atau maksud tertentu. Saya ingin membiarkan penonton menikmati gerak tari tanpa harus repot-repot memikirkan jalan cerita. Nikmati saja gerakan dan musikalitasnya,” tegas Farida

Dan memang, dalam Survival ini, Farida lebih banyak menonjolkan keindahan gerakan dari penari-penari balet semata. Gerakan ballet klasik dipentaskan dengan keindahan, keanggunan lewat penari-penarinya.

Dengan musikalitas dari composer Sergei Prokofiev, Farida hendak menampilkan eksistensi balet dalam Survival. (*)